Di sebuah lembah yang yang jauh dari keramian manusia hidup sepasang manusia dalam gubuk sederhanya. Dua manusia yang memiliki latar belakang karakter, budaya dan keilmuan yang jauh berbeda dan telah memutuskan untuk menjadi mitra dalam menjalani sisa sisa takdir dari kehidupan mereka. Adanya kesamaan tujuan dalam hidup telah membuat semesta bersekokongkol untuk mempertemukan kedua jenis karakter yang berbeda ini.
Jauh hari sebelum bertemu dan memutuskan untuk tinggal di gubuk itu, kedua mereka telah sering mendengarkan dari kedua orang tua dan guru guru mereka tentang adanya sebuah "rumah cahaya" dipuncak bukit yang tidak terlalu jauh dari gubuk yang mereka tinggali. Fantasi keindahan " rumah cahaya " yang mereka dapatkan dari sejak kecil begitu kuat tertanam di alam bawah sadar mereka yang tanpa mereka sadari setiap langkah yang mereka buat adalah bagian dari rangkaian puzzle untuk menuju "rumah cahaya".
Konon banyak penduduk sudah berusaha menuju kesana, ada yang sudah mencapainya dan menceritakan semua keindahan rumah itu dalam rangkaian kata kata yang bagi sebagian orang akan sangat menghipnotis untuk menemukannya namun tak jarang pula mereka juga mendengar banyak manusia yang terjatuh ke jurang yang sangat dalam ketika hendak mencapai puncak bukit dimana "rumah cahaya" itu berada.
Memang katanya tidak mudah untuk menuju kerumah cahaya tersebut karena hutan di bukit itu begitu lebat dengan semua vegetasinya, kondisi ini menjadikan hutan itu begitu gelap dan sumber cahayanya cuma berasal dari berkas berkas cahaya yang berasal dari rumah tersebut yang menembusi celah celah semak dan pepohonan di bukit itu. Dan berkas berkas cahaya ini pula yang menjadikan penunjuk arah bagi siapa saja yang ingin menuju kerumah tersebut.
Mungkin akan sangat sederhana jika kita berpikir kita melangkah terus dibimbing oleh berkas berkas cahaya tersebut menuju tujuan kita namun kondisi riil di hutan yang penuh dengan duri yang kapan saja bisa melukai, sengatan binatang berbisa dan lainnya yang kapan saja bisa membuat kita tidak bisa mencapai tujuan kerumah tersebut. Bahkan tak jarang ketika orang sudah melihat rumahnya dari kejauhan malah terjatuh kejurang karena ketidak hati hatianya melewati jalan yang sangat sempit ketika hendak mencapai rumah itu.
Berurut hari berlalu keingintahuan sepasang manusia ini akan rumah cahaya juga semakin besar namun mereka melakukannya dengan cara mereka sendiri. Nafas si manusia pertama dibesarkan dalam tradisi taktikal dan lebih sedikit menggunakan akalnya sementara Akli manusia kedua dibesarkan dalam tradisi berpikir yang sangat kuat dan lebih sedikit menggunakan pisiknya untuk bertindak.
Setiap harinya Nafas selalu berjalan melintasi lebat dan gelapnya bukit untuk menuju rumah cahaya, setiap jalan yang dilaluinya dibuat penanda agar keesokan harinya dia bisa melangkah dengan lebih mudah dan lebih cepat. Inilah rutinitas harian yang dilakakukan Nafas dalam upayanya mencapai rumah cahaya. Dalam perjalannya tak jarang Nafas harus terjatuh, tertusuk duri, disengat binatang bahkan pernah jatuh ke lumpur hidup yang hampir saja merenggut nyawanya kalau saja dia tidak sempat menarik salah satu akar tunjang yang menggantung dari pohon beringin didekatnya.
Rintangan rintangan yang dialami Nafas tidak juga mebuatnya surut demi mencapai mimpinya menuju rumah cahaya bahkan semakin hari semakin membuat dirinya lebih bijak dalam menjalani hari harinya karena mengetahui ada hal hal diluar sana yang sunggur berada diluar kuasa dirinya.
Berbeda dengan Nafas, Akli berpandangan bahwa untuk mengetahui tentang rumah cahaya cukup hanya dengan mengetahuinya dan melihatnya dari kejauhan, dari gubuknya dan tidak harus bersusah payah melewati gelapnya hutan dengan kemungkinan kemungkinan bahaya yang bisa mengintai kapan saja seperti yang dialami oleh Nafas. Oleh karena itu Akli hanya mempersiapkan dan menggunakan seperangkat gadget sebagai alat/cara yang dia gunakan untuk mengetahui tentang rumah cahaya.
Melalui gadget dan program yang dia miliki setiap harinya dan dari kamar gubuknya Akli menelusuri secara detail seluk beluk hutan. Bahkan dengan citra satelit dalam program map di gadgetnya Akli bisa tahu persis dimana posisi rumah cahaya dan juga dengan citra yang ada dia bisa melihat lihat rumah itu melalui gadgetnya.
Segala data dan citra tentang hutan sebagai jalan menuju rumah cahaya bisa diakses oleh Akli, begitu juga data dan citra tentang rumah cahaya juga dia miliki.
Inilah kepuasan tertingginya dan dia sudah merasa mengetahuinya lebih dulu dan lebih banyak dari Nafas. Setiap harinya dia membangga banggakan data data dan citra yang bisa dia peroleh.
Disisi lain Akli hampir tidak ada kemauan sama sekali untuk bertindak untuk melakukan gerakan menuju ke rumah cahaya tersebut, baginya mengetahuinya saja sudah cukup sehingga dia bisa membahasakannya secara verbal bagi orang orang lain nantinya.
Bagi Nafas petualangannyalah yang utama, dia ingin merasa dan tidak hanya sekedar tahu seperti yang diketahui Akli. Keindahan petualangan yang sangat dinikmati oleh Nafas yang semakin membuat mentalnya jadi lebih teruji mengatasi ganasnya hutan, jiwanya jadi lebih tahan dan juga tentunya lebih bijak dalam mengatasi keadaan.
Keindahan petualangan yang membangun jiwa yang pada akhirnya mampu membawa dirinya sampai kepada rumah cahaya yang selama ini dia impikan.
Sungguh keindahan yang tak bisa terbahasan apa yang dia rasa ketika berada di rumah cahaya, semua kata kata tidak cukup untuk menggambarkan rasa bahagianya. Semakin dia amati semakin terasa indah melebihi dari kata kata indah yang pernah dia baca sebelumnya dari orang orang yang sudah duluan sampai kerumah itu. Namun itulah bahasa, Nafas sendiri kebingungan bagaimana membahasakan karena keterbatasan kata untuk melukiskannya. Dia hanya bisa berteriak bahagia sekuat tenaga " aku tlah sampai, aku sangat bahagia".
Dengan rasa bahagia dan keharuan mendalam Nafas pulang ke gubuknya hanya untuk berbagi bahagia dengan Akli. Bergegas dia menjumpai Akli sambil berteriak "Akli..Akli, aku telah sampai kerumah cahaya, sangat indah dan sangat bahagia rasanya". Akli hanya tersenyum sambil mengatakan " Iya, tentu saja Nafas, bukankah aku sudah pernah menunjukkan kepadamu bagaimana indahnya foto rumah cahaya itu".
Akli selalu merasa lebih dulu dan lebih banyak tahu namun dia tidak pernah bisa merasakan kebahagiaan yang dirasakan Nafas. Walaupun mereka sama sama bisa mengatakan kata yang sama " aku sangat bahagia" namun tentunya kualitasnya berbeda.
Akli bisa jadi banyak tahu tentang data data dan citra namun dia tidak mengalaminya langsung dalam pengalamannya, dia tidak menjalani proses pembelajaran mental dan jiwa dari perjalanan menuju rumah cahaya yang sebetulnya itulah moment paling berharga dari menuju rumah cahaya. Dia tahu dengan logikanya namun dia tidak bisa merasa dengan jiwanya.
Bahkan pengetahuan yang yang dimiliki tidak mampu menjamin dia bisa dengan selamat menuju rumah cahaya karena tantangan menuju kesana harus melalui perjuangan dan ketahanan jiwa bukan sekedar tahu secara teoritis logis.
Hidupnya hanya sebatas petualangan akalnya dan tentu saja sebatas itu pula tingkatan dia bisa mempersepsikan kebahagiaan/keindahan petualangan menuju rumah cahaya.
Bagi Nafas, kebahagiaan/keindahan petualangan kerumah cahaya sangat personal karena cuma jiwanya sendiri yang bisa merasa tanpa ada kata yang bisa melukiskannya.
Beda bukanlah soalannya karena itu terkait potensi dan kelemahan yang spesifik yang dimiliki masing masing mereka. Ini adalah rahmat juga bagi mereka untuk saling melengkapi terlepas bagaimana kualitas kebahagiaan yang ada di hati mereka masing masing dalam pencariannnya pada rumah cahaya.